Apakah Kita Sudah Belajar Dengan Benar ?

Muhammad Syukur Abadi
4 min readJan 16, 2021

--

Photo by Dmitry Ratushny on Unsplash

Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu — Tan Malaka

Lebih dari dua belas tahun saya mengenyam pendidikan formal, saya menyadari bahwa ada yang keliru dengan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini saya sadari ketika kuliah, dimana materi-materi jenjang SMA (dalam hal ini peminatan Matematika dan Ilmu Alam) terbengkalai dan tidak menanamkan inti dari pendidikan — bagaimana cara berpikir. Bagi anda yang mengeyam pendidikan SMA dengan peminatan IPA/MIA yang belajar di bawah kurikulum 2013/2016/2016 revisi, mungkin pertanyaan saya di bawah ini sedikit menyadarkan dan menyegarkan pikiran anda.

Pada mata pelajaran biologi, kelas satu kita diajarkan taksonomi — mulai dari bakteri hingga hewan dan tumbuhan. Kelas dua, kita diajarkan bagaimana tubuh manusia bekerja dan seluk-beluk plantae. Kelas tiga, kita diajarkan bagaimana cara kerja sel dan teori-teori evolusi.

1. Apakah di kelas satu kita diarahkan untuk menghafal klasifikasi makhluk hidup ? Apakah di kelas dua kita diarahkan untuk menjadi dokter dan ahli botani ? Apakah di kelas tiga kita kembali diarahkan untuk menghafal urutan perkembangan sel dan teori-teori evolusi yang sudah uzur ?

2. Mengapa urutan materi biologi terbalik ? Bukankah pelajaran mengenai sel didahulukan daripada taksonomi ?

Atau saat pelajaran matematika wajib/peminatan

1. Bagaimana membuktikan kebenaran matriks transformasi linier ?

2. Mengapa turunan pertama suatu fungsi sama dengan gradien fungsi tersebut di suatu titik

Berikut opini saya tentang sistem pendidikan kita

1. Pembelajaran Yang Berorientasi Pada Nilai
Sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh B. Brendt et al (2020) menyatakan bahwa sistem penilaian hasil belajar yang mendukung siswa untuk lulus ujian dapat dimanipulasi dengan cara apapun. Misalnya, sistem yang memastikan siswa untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya demi menjadi anggota suatu organisasi: tutor hanya akan berfokus pada bagaimana siswa mendapatkan nilai tinggi tanpa mempedulikan pemahaman mereka. Bukti ini diperkuat dengan temuan Dalyt et al (2012) dimana guru-guru dengan fasilitas yang memadai di Inggris berfokus pada persiapan ujian masuk perguruan tinggi daripada menanamkan esensi dari belajar. Hal ini disebut sebagai ‘teaching to the test’.

2. Kualitas Pendidikan Indonesia Yang Menjadi Masalah Tahunan
PISA atau Programme for International Student Assessment merupakan asesmen yang diberikan pada anak umur 15 tahun untuk mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains yang diadakan oleh OECD. Asesmen juga mengukur sejauh mana siswa telah belajar dan menerapkan ilmu yang telah mereka pelajari untuk diterapkan di kehidupan nyata (Suprapto, 2016). Pada tahun 2018, Indonesia menempati urutan ke-6 dari bawah dalam kemampuan membaca dan menempati urutan ke-7 dari bawah — lagi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa performa Indonesia turun dibandingkan pada PISA 2015 (Tohir, 2015). Anggaran pendidikan Indonesia berbanding terbalik dengan kualitas pendidikan jika dilihat dari hasil penilaian PISA dan TIMSS dibandingkan negara lain (Suprapto, 2016).

3. Indeks Literasi Masyarakat Indonesia Yang Rendah
Masyarakat Indonesia tidak berminat dalam membaca. Hal ini diperkuat dengan survei yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2012 bahwa indeks membaca masyarakat Indonesia adalah 0.001 yang berarti tiap 1000 orang, hanya satu orang saja yang memiliki minat membaca. Dharma (2014) menyebut hal ini sebagai tragedi nol buku.

4. Kebenaran Yang Tidak Dapat Dipertanyakan Jauh Lebih Baik Daripada Kesalahan Yang Dapat Diterima
// Tidak adanya pengenalan error (introducing to error) sehingga siswa lebih senang ketika apa yang mereka jawab itu benar dan cenderung kesal ketika mereka salah. Bisa jadi hal ini yang mematikan kemampuan analisa siswa.
Saya pernah membaca suatu kutipan dalam bahasa latin yang mendorong saya untuk menulis subbab pada artikel ini. Kutipan tersebut berbunyi:

Errare humanum est, turpe in errore perseverare
(Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan kekeliruan tersebut)

Hal ini saya sadari ketika beberapa kali berhadapan dengan rumus instan pada mata pelajaran matematika dan fisika pada bangku SMA. Di kelas, kami (penggunaan pronomina ini saya kira sangat subjektif) hampir tidak dapat mempertanyakan kebenaran rumus yang diajarkan entah itu karena perasaan takut dimarahi guru karena materi yang diajarkan sudah jelas dan bisa dibaca di buku atau takut dijauhi teman karena dianggap cari perhatian. Terlebih lagi pekerjaan rumah kerap tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi lebih jauh, bahkan mempertanyakan kebenaran pelajaran yang diajarkan di kelas.

Saya mulai mempertanyakan kebenaran ilmu yang saya dapat ketika masuk bangku kuliah. “Bagaimana membuktikan kebenaran teorema A. Apakah dengan contoh kasus yang berbeda, kebenaran teorema ini tidak terpatahkan?”, “Dengan permasalahan yang sama, apakah codingan milik saya dapat menyelesaikan permasalahan ini?”, dan masih banyak pertanyaan yang ada di dalam diri saya tentang keraguan terhadap ilmu yang saya pelajari di kampus.

Sepertinya, sedari dulu kita diajarkan untuk tidak meragukan dan menerima apa yang diajarkan dan apa yang menjadi kebenaran umum. Dengan memperhatikan konteks, Saya rasa ketika dihadapkan suatu pertanyaan, kita akan merasa senang jika jawaban yang kita miliki adalah benar dan merasa kesal jika jawaban yang kita miliki salah, kemudian mendapat masukan orang lain. Bagaimana kita tahu ada sesuatu yang benar tanpa terlebih dahulu melewati kesalahan, namun bukankah tidak baik jika kita salah dalam belajar terus-menerus?.

Daftar Rujukan

  1. B. Berendt, A. Littlejohn, and M. Blakemore, “AI in education: learner choice and fundamental rights,” Learn. Media Technol., vol. 45, no. 3, pp. 312–324, Jul. 2020, doi: 10.1080/17439884.2020.1786399.
  2. Suprapto, Nadi. “What should educational reform in Indonesia look like?-Learning from the PISA science scores of East-Asian countries and Singapore.” Asia-Pacific Forum On Science Learning & Teaching. Vol. 17. No.2. 2016.
  3. Tohir, Mohammad. “Hasil PISA Indonesia tahun 2018 turun dibanding tahun 2015.” (2019).
  4. Dharma, Satria. 2014. Tragedi Nol Buku : Tragedi Di Dunia Pendidikan Indonesia. https://satriadharma.com/2014/01/28/tragedi-nol-buku-tragedi-di-dunia-pendidikan-indonesia/ (Diakses pada 10 Januari 2021)

--

--

Muhammad Syukur Abadi

Ordinary computer science student and a gundam geek. Also hugging psychology, math, and physics stuffs. I can be reached on my instagram @sykrabadi