Bagaimana Rasanya Menjalani Hidup Sebagai Contoh Bagi Orang Lain ?

Muhammad Syukur Abadi
4 min readJun 21, 2020

--

Photo by Jose Antonio Gallego Vázquez on Unsplash

Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing
Chairil Anwar — Pemberian Tahu

Cerita ini dimulai ketika saya hendak lulus SMA, dimana teman-teman saya ada yang sibuk mengurus pendaftaran karena diterima sebagai mahasiswa undangan dan ada yang sibuk menyelematkan diri sendiri karena harus berjuang diantara sekian banyak lulusan SMA yang sama-sama ingin melanjutkan pendidikan di bangku perguruan tinggi negeri — termasuk saya.

Singkat cerita selama lebih kurang selama satu bulan, saya menjalani rutinitas dengan belajar, mempersiapkan diri menghadapi ujian perguruan tinggi dengan pesaing yang datang tak hanya dari siswa seangkatan, tetapi juga angkatan diatas saya yang memutuskan mengikuti ujian lagi atau yang selama setahun belajar lagi tanpa mengambil pendidikan di bangku perguruan tinggi. Singkat cerita saya tidak diterima di panggung utama yang kemudian saya sadari bahwa saya tidak cukup baik untuk bersaing pada waktu itu. Tanpa berpikir panjang, saya mendaftar perguruan tinggi lain yang masih membuka jalur mandiri dengan ambisi yang sama, dan diakhiri dengan satu hasil yang sama : saya tidak diterima dimanapun.

Tiga hari setelah rentetan penolakan pendaftaran pengumuman penerimaan mahasiswa baru, saya benar-benar stress dihujani pertanyaan-pertanyaan yang bagi saya saat itu cukup menekan mental dan menguras emosi yang datang dari orang lain dan diri sendiri. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk cuti selama satu tahun dan belajar lagi guna mempersiapkan diri menghadapi seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun berikutnya.

Ditempat saya belajar, saya kembali bertemu dengan teman SMA yang sama-sama datang dengan keputusan dan ambisi yang sama, dan tak disangka bertemu kembali dengan teman semasa SMP yang tidak lama tidak berjumpa. Hari-hari dari sini, tak hanya saya isi dengan materi-materi ujian, tetapi juga belajar bagaimana hidup bekerja.

Saya percaya kekuatan doa dan usaha, segala yang saya lakukan pada akhirnya akan kembali pada diri saya. Pada titik ini saya mencoba semaksimal mungkin melakukan hal-hal positif dan kebaikan. Saya percaya semua doa akan dijawab, namun pengalaman dan realitas tidak menjadikan saya benar-benar bergantung pada doa dengan mengimbangi dengan usaha.

Hingga pertengahan 2019, saya tetap dalam mimpi saya untuk duduk di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Yogyakarta, namun segalanya tidak sesuai dengan rencana. Kabar baiknya, saya diterima di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur. Dari sini saya sering membatin ‘mengapa kesempatan-kesempatan itu saya lewatkan ? biarpun punya peluang kecil, peluang tetap peluang’. Kemudian saya memutuskan untuk mendaftar ulang di perguruan tinggi yang menerima saya, namun dengan berat hati disertai penyesalan bahwa saya tidak mengambil kesempatan kedua untuk mencoba mendaftar kuliah di Yogya. Hari pertama ospek, tidak saya jalani dengan suka cita, begitupun satu semester berikutnya sebagai mahasiswa baru. Dengan kekesalan dan penyesalan yang saya rasakan sejak pertama kali masuk sebagai mahasiswa baru, saya punya kesimpulan tersendiri dengan tempat ini : ‘Tempat ini memilih saya, bukan saya yang memilih tempat ini.

Di tempat ini, yang merasakan ketidaknyamanan karena berada di tempat yang tidak mereka inginkan, bukan hanya saya, tetapi juga teman-teman saya merasakan hal yang sama. Dengan narasi yang dalam ukuran saya tidak lagi relevan dengan narasi : ‘seharusnya kamu bersyukur bisa kuliah disini, ada banyak orang yang menginginkan posisimu tapi mereka tidak bisa’. Menurut saya, tidak ada hubungannya penderitaan orang lain dengan bersyukur, disamping itu terlepas dari rasa nyaman atau tidak, toh saya yang memenangkan ‘pertempuran’ ini.

Saya akui memang definisi ‘syukur’ sangat luas karena setiap orang mendefinisikannya dengan cara yang berbeda, namun apakah tidak lebih baik jika kata ini cukup untuk kita pahami masing-masing ?

Lantas, bagaimana rasanya menjalani hidup namun sebagai contoh bagi orang lain ?

Bagi saya, hal ini tentu menyakitkan dan menyedihkan : mengapa harus saya ?. Pada saat itu, saya menyikapi takdir sebagai rupa yang abstrak dan acak, sedangkan usaha hanya memperkecil peluang gagal. Banyak diantara rekan saya yang belajar namun tidak mendapatkan hasil yang sesuai dan sebaliknya. Kita hanya bisa berusaha, namun kita tak bisa memilih realita. Hal ini kemudian mengajarkan saya untuk tidak terlalu berharap pada hasil dan memaksimalkan segala usaha.

Suatu hari, ketika saya berselancar di Youtube untuk sekadar refreshing, saya menemukan video berjudul “The Nova Effect” yang secara sederhana menjelaskan bagaimana hal yang kita anggap buruk ternyata memiliki kebaikan, dan sebaliknya.

Rentetan penderitaan yang saya jalani selama kuliah, ternyata memiliki makna di dalamnya. Pembahasan mengenai pemberian makna dalam hidup seperti yang diungkapkan oleh almarhum Viktor Frankl dan penggalian potensi dalam buku “Grit” yang ditulis oleh Angela Duckworth dalam membentuk diri saya hari ini, akan saya bahas di tulisan saya yang lain.

Sekian.

--

--

Muhammad Syukur Abadi
Muhammad Syukur Abadi

Written by Muhammad Syukur Abadi

Ordinary computer science student and a gundam geek. Also hugging psychology, math, and physics stuffs. I can be reached on my instagram @sykrabadi

No responses yet