Menunggu Adalah Kebutuhan Hidup
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
-Chairil Anwar
Dalam tulisannya tetang menanti (atau ulasan film lebih tepatnya), Aan Mansyur menggambarkan menanti sebagai benda dan pekerjaan yang memiliki banyak tafsiran, tergantung dari sudut pandang mana dia dilihat, sedangkan Sapardi Djoko Damono dalam pembukaannya dibuku Aku Ini Binatang Jalang yang merupakan antologi dari puisi Chairil Anwar menyatakan bahwa semakin mendekati kematian Chairil, perubahan terjadi pada puisi Chairil secara substansi : ada kedalaman makna yang disampaikan Chairil mendekati tahun ia meninggal, atau dari puisi Soe Hok Gie yang disajikan pada akhir film garapan Riri Riza yang mengambil kisah hidup almarhum. Jika menanti memiliki arti sempit ‘memiliki rumah masing-masing’, lantas siapa yang tinggal di dalamnya ?
Dalam literasi populer masyarakat kita, kita mengenal peristiwa penghilangan paksa orde baru yang berbuntut pada aksi kamisan yang rutin diadakan sejak 12 tahun lalu. Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori ikut mengenalkan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi pada rentang waktu demikian dalam perspektif korban dan keluarga korban. Menurut saya, ini cara yang tepat mengenalkan kepada masyarakat umum untuk peduli atas apa yang telah terjadi di masa lampau
Leila menggambarkan Biru Laut (tokoh utama dari novel ini) sebagai persona yang memiliki semangat reformasi seperti kebanyakan mahasiswa tahun ’98 yang menuntut adanya perubahan hierarki politik. Gejolak batin dan fisik yang mewarnai Laut membawa pembaca menjadi Laut sendiri — atau sebenarnya kita sedang mendengarkan hantu berdongeng ?. Penggambaran Laut sebagai subjek juga membantu pembaca memahami apa yang terjadi pada korban penculikkan ’98 yang kisahnya tidak terlalu populer karena satu-dua hal.
Keluarga Laut yang cukup mendukung pembentukkan tokoh Laut juga menambah daya tarik dalam Novel ini. Asmara Jati, adik Laut yang berkuliah di prodi kedokteran harus menanggalkan ‘rasionalitasnya’ sebagai mahasiswa kedokteran terkait kehilangan kakaknya yang membuat Ayah dan Ibunya memiliki semesta sendiri untuk mengenang Laut, semesta penyangkalan. Rutinitas di semesta yang diciptakan Ayah dan Ibu Laut memberikan sebuah pelajaran : bagaimana serangkaian penyangkalan membentuk realitas baru. Setidaknya ini yang saya pahami dan saya pelajari dalam hidup : bahwa penyangkalan adalah bagian dari hidup, namun apa yang akan terjadi selanjutnya, tergantung bagaimana kita mengendalikan realitas yang ada.